Sejarah Museum Balla Lompoa
Museum bagi banyak orang identik
dengan kata kuno dan antik, maka itu tidak semua orang senang menjadikan wisata
sejarah ke museum – museum sebagai
alternatif pengisi waktu atau kegiatan selama berlibur. Padahal, segala sesuatu
yang dianggap kuno atau ketinggalan zaman yang menjadi image sebuah museum
menyimpan banyak sekali cerita sejarah nenek moyang kita. Banyak museum yang
didirikan pemerintah di seluruh daerah Indonesia yang bertujuan untuk menyimpan
dan melestarikan peninggalan sejarah bangsa kita. Salah satunya adalah Museum
Balla Lompoa di Sulawesi Selatan.
Daerah Gowa, Makassar, Sulawesi
Selatan memiliki sarana wisata sejarah yang menarik yaitu Museum Balla Lompoa.
Arti kata Balla dalam bahasa Makassar yaitu rumah, dan Lompoa artinya besar.
Arti keseluruhan dari nama Balla Lompoa adalah rumah yang besar. Museum Balla
Lompoa berdiri megah sebagai bagian dari kota Sungguminasa. Sejarah museum
Balla Lompoa berkaitan dengan Kerajaan Gowa, karena bangunan museum merupakan
rekonstruksi dari Istana Kerajaan Gowa yang didirikan pada masa pemerintahan
Raja Gowa ke 31 bernama Mangngi – mangngi Daeng Matutu pada tahun 1936.
Bangunan museum berbentuk rumah khas
Bugis yaitu rumah panggung yang terbuat dari kayu ulin atau besi dan dibangun
di atas lahan yang luasnya sebesar satu hektar dan dibatasi pagar tembok
tinggi. Ada dua bagian di dalam bangunan ini yaitu ruang utama sebesar 60 x 40
meter yang terdapat kamar pribadi raha, penyimpanan benda – benda bersejarah,
bilik kerajaan yang masing – masing berukuran 6 x 5 meter, serta ruang teras
atau penerima tamu berukuran 40 x 4,5 meter. Pada bangunan ini terdapat ciri
khas rumah bugis yaitu banyaknya jendela yang berukuran 0,5 x 0,5 meter masing
– masingnya.
Bangunan museum yang dulunya bekas
istana merupakan gabungan dari bangunan – bangunan utama dan bangunan pendukung
yang saling berhubungan. Penghubung bangunan – bangunan tersebut adalah sebuah
tangga yang tingginya sekitar dua meter. Pada tahun 1978 – 1980 dalam sejarah
museum Balla Lompoa, dilakukan restorasi museum yang kemudian diresmikan oleh
Prof. Dr. Haryati Subadio sebagai Dirjen Kebudayaan. Biaya pemeliharaannya
berasal dari Pemda setempat yang memberikan dana sebesar 25 juta rupiah
perbulan untuk perawatan museum secara keseluruhan.
Categories:
All Post